Breaking

Pembersih curah: Kalah merek tak berarti kalah mutu dan pasar



Pasar produk pembersih rumah tangga yang cukup besar membuka kesempatan memproduksinya. Apalagi jika memiliki jaringan penjualan dan menawarkan harga lebih murah. Syarat utama memulai bisnis ini adalah memiliki keahlian khusus.

Produk pembersih tampaknya sudah menjadi kebutuhan pokok setiap rumah tangga. Membersihkan perkakas rumah atau pakaian tak cukup dengan air. Masing-masing butuh beberapa produk pembersih khusus agar hasil bisa maksimal.

Kebutuhan pembersih ini tak cuma berasal dari kalangan rumah tangga, tapi juga bisnis dan industri dan pelaku usaha, seperti laundry, restoran, salon, spa, dan usaha lain. Semakin banyak pembeli dari golongan ini yang memilih produk pembersih curah berharga lebih murah dan bermutu tinggi, ketimbang produk bermerek dari produsen besar yang berharga relatif lebih mahal.

Tak heran beberapa produsen produk pembersih berkapasitas kecil masih menikmati cipratan rezeki dari penjualan pembersih rumah dan deterjen. Budiono Gondosiswanto, pemilik PT Motto Beringin Abadi di Gunung Putri, Bogor, mengungkapkan, setiap bulan total omzet penjualan produk pembersih bisa mencapai Rp 5 miliar.

Selama ini Budiono menjual produknya melalui beberapa distributor yang tersebar di beberapa kota. “Pendapatan saya dari hasil penjualan melalui jalur distributor sekitar Rp 3 miliar,” ujar dia. Selain lewat distributor, ia juga memasok produk tanpa merek ini ke jaringan supermarket dan mini market seperti Carrefour, Lotte Mart, dan Indomaret dengan label khusus (private label).

Selain itu produsen produk pembersih yang sudah beroperasi selama 16 tahun ini juga menjadi salah satu pemasok bagi Unilever. Bahkan, produk bikinan Budiono juga dipesan ke oleh pembeli dari luar negeri. Beberapa jaringan supermarket di Jepang dan Amerika Serikat secara berkala memesan produk tertentu.

Saat ini Motto mempunyai 22 produk, mulai deterjen bubuk dan cair, pelembut pakaian, sabun tangan, cairan pembersih lantai, dan lainnya. “Kapasitas produksi kami saat ini mencapai 40 ton per hari,” ujar Budiono. Artinya, dalam sebulan, Motto mampu memproduksi sekitar 1.200 ton.

Bukan cuma Budiono yang menikmati bisnis ini. Agus Mega Jaya, pemilik Fix Wash di Denpasar, Bali, bilang, meski baru memulai bisnis ini pada Mei tahun ini, dia mengaku permintaan produk yang dihasilkan sudah lumayan banyak. “Saat ini saya melayani kebutuhan lima laundry, empat vila, dan empat hotel,” kata dia. Agus mengaku, omzet usahanya bisa mencapai Rp 28 juta per bulan. Lumayan bagi pebisnis yang belum sampai enam bulan berdiri.

Saat ini kapasitas produksi Agus memang masih kecil, yaitu satu ton per bulan untuk setiap produk. Padahal, permintaan yang datang bisa lebih dari itu. “Saya kewalahan menanggapi pesanan,” aku Agus. Kendalanya adalah biaya produksi yang cukup gede. Maklum, modal yang dia miliki masih minim.

Hal yang sama juga terjadi pada usaha yang dijalani oleh Arifin, pemilik CV Sinar Kencana. Saat ini dia memasok dua ton sabun ke beberapa usaha spa. “Itu permintaan yang rutin,” ujar dia. Belum lagi permintaan yang tak rutin seperti sabun cuci piring dari beberapa restoran dan cairan pembersih lantai dari rumah sakit. Rata-rata, total permintaan bisa mencapai satu ton per bulan.

Dari hasil penjualan sabun secara rutin, Arifin yang sudah merintis usaha pembuatan sabun sejak empat tahun silam mampu mengantongi omzet sebesar Rp 30 juta per bulan. Jika pesanan sedang banyak, omzetnya bisa melonjak sampai Rp 105 juta per bulan.

Pasar yang cukup besar itu ternyata ikut menarik semakin banyak orang menggarap bisnis ini. Semakin banyak yang membuat bisnis serupa dengan menawarkan harga jual produk yang semakin murah. Saat ini harga jual produk ini antara Rp 3.000 - Rp 15.000 per liter. Sebagai contoh, harga sabun sekitar Rp 15.000 per liter, cairan pembersih lantai Rp 3.000 per liter, dan sabun cuci piring sekitar Rp 5.000 per liter.

Meski harga jual makin murah, para produsen masih mampu menjaga margin laba bersih sekitar 25% dari total omzet. Agus, misalnya, mengaku mengambil margin dari usaha ini sekitar 25%. Tapi, Budiono yang memiliki kapasitas produksi cukup besar mengaku hanya mengambil margin 10%.

Budiono beralasan, usahanya mengambil margin sangat kecil lantaran sebagian besar produk yang dihasilkan akan dijual kembali. Selain itu, dia menggunakan jejaring distributor, mereka juga menjual ke beberapa jaringan ritel modern. “Kalau dari distributor ke end user bisa untung sekitar 20%,” jelas dia. Saat ini Budiono memiliki 4.000 distributor yang tersebar di seluruh Indonesia.

Para produsen mengaku, beban biaya terbesar adalah pembelian bahan baku produksi. Arifin bilang, hampir 50% digunakan untuk membeli bahan baku, sebesar 25% untuk upah pegawai, biaya pengiriman, dan sisanya biaya lain-lain.

Budiono justru punya hitungan lebih besar besar lagi. Menurut dia, biaya upah dan pengiriman hanya memakan 8% dari total omzet. Sisanya sebesar 92% digunakan untuk membeli bahan baku.

Bagaimana pun butuh peracik formula kimia

Cara memproduksi produk toiletries, pembersih rumah, dan produk kimia untuk laundry tidak bisa sembarangan. Bisnis ini membutuhkan keahlian khusus. Biasanya, mereka yang ingin membuat produk ini harus memiliki dasar pengetahuan kimia. Budiono misalnya, pernah mengambil jurusan Kimia di Hawkesbury Advance College, University Western Sydney, Australia. Arifin juga pernah mengambil jurusan kimia di Universitas Sebelas Maret Solo. Agus lebih memilih mengandalkan temannya untuk membuat formula yang pas agar dapat menghasilkan produk tepat.

Budiono bilang, sebenarnya bisa saja mengandalkan orang lain yang mempunyai keahlian untuk membuat produk pembersih, toiletries, atau cairan pembersih. Tapi, dia menyarankan, Anda tetap belajar cara membuat produk. “Kalau sewaktu-waktu orang yang Anda gaji pergi, bisnis tetap bisa jalan,” ujar dia.

Pada dasarnya, setelah racikan bahan baku ditemukan, proses menghasilkan produk menjadi mudah. Karena itu Arifin juga menjual bahan baku yang sudah diracik dan tinggal diolah menjadi produk jadi. “Tinggal menambah air dan dimasukkan ke mesin mixer,” kata dia. Khusus pembuatan sabun, perlu ada pengukuran PH hingga pada angka 7, lantas dikemas dan siap untuk dijual.

Khusus untuk pembuatan deterjen, bubuk bahan baku yang sudah dicampur sesuai resep harus dijemur terlebih dahulu. Setelah mengering, bahan itu lantas disaring menjadi bubuk dan dicampur biolite(pencerah warna). Baru kemudian dikemas.

Meski produksi relatif gampang, proses menemukan formula pas tidaklah mudah. Agus mengaku perlu waktu riset satu bulan sebelum mendapatkan formula yang pas. “Tesnya mulai hasil pencucian, umur material, dan keamanannya,” ujar dia. Selain itu, Anda juga harus mengurus perizinan.

Banyak bahan baku harus diimpor

Untuk mendapatkan bahan baku pembuatan sabun ini cukup mudah. Semua bahan bisa diperoleh di toko kimia atau importir bahan kimia. Tapi, menurut Budiono, bahan baku yang lengkap lebih banyak didapatkan di Jakarta. “Bisa di Lautan luas, Aneka Kimia Raya, atau importir lain,” katanya.

Beberapa produsen ini mengaku dibantu hanya oleh empat sampai lima pekerja. “Orang yang membantu tidak harus mempunyai keahlian karena kita kan sudah mempunyai formulanya,” ujar Arifin. Tapi, kalau memang belum mempunyai keahlian membuat formula, Anda tetap harus menggaji seorang ahli kimia yang biasanya biayanya cukup mahal.

Karena usahanya sudah menjadi produsen besar, Budiono mengaku mempunyai 200 pekerja. Saat ini ia juga mempekerjakan tim riset untuk menjaga kualitas dan membuat produk baru.

Jika tertarik menggeluti bisnis ini, modal awal membuat bisnis ini lumayan besar. Agus mengaku harus mengeluarkan dana sebesar Rp 45 juta. “Dana itu untuk membeli peralatan, riset dan bahan baku awal,” kata dia. Biaya pembelian peralatan dan riset sekitar

Rp 30 juta. Maklum, bahan baku tidak bisa dibeli eceran. Kalau belanja eceran, harganya bisa lebih mahal empat kali lipat.

Arifin memperkirakan, modal awal untuk usaha ini sekitar Rp 50 juta, sudah termasuk membeli peralatan dan bahan baku. Alat utama sebenarnya mesin pengaduk alias mixer. “Harganya sekitar Rp 10 juta,” kata Arifin. Selain itu Anda harus menyediakan ember, timbangan, dan pengukur PH.

Dengan kapasitas produksi lebih besar, Budiono memperkirakan memulai bisnis membutuhkan dana Rp 75 juta - Rp 100 juta, terutama untuk peralatan produksi dan bahan baku awal.

Di luar modal awal untuk produksi, perlu juga dana tambahan untuk operasional. Menurut Agus, biasanya di awal memasok produk ke konsumen, pembayaran baru beres setelah semua barang dikirim. Bahkan, ada juga membayar secara kredit. Karena itu kalau tidak kuat modal, bisa saja bisnis ini langsung ambruk. “Karena itu, saya tidak bisa memproduksi banyak,” kata dia.

Arifin bilang, jika penjualannya lancar, usaha ini bisa balik modal kurang dari setahun. Dengan memiliki tiga hingga empat produk, Budiono memperkirakan balik modal bisa tercapai dalam kurun waktu kurang dari tujuh bulan. “Tergantung penjualannya selama sebulan berapa,” kata dia.

sumber : kontan.co.id

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.